Sambutan Pengelola

Saya Mengucapkan SELAMAT DATANG di Web Site Pribadi Saya JUNAIDI - www.jundanjin.com.

Kepuasan Anda Adalah Tujuan Kami

Saya akan memberikan yang terbaik dengan segala kemampuan yang saya miliki demi kepuasan anda.

Berdedikasi dan Memberikan yang Terbaik

Bersama Membangun Kepercayaan untuk mencapai sebuah Implementasi dalam menjalin kerjasama yang baik di segala Sektor.

Kepercayaan Menjadi Moto Kami

Tekun, Jujur, Berdedikasi dan Menjadi Kepercayaan adalah sebuah Moto saya untuk lebih maju menatap Masa Depan yang lebih baik tentunya.

Contact Saya

Bagi anda yang mempunyai pertanyaan ataupun kritik dan saran kepada saya silahkan kirimkan ke Email: junaidi@jundanjin.com.

Selasa, 11 Desember 2012

Indah Pada Waktunya

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Indah namanya , umurnya genap enam tahun. Kulitnya putih dengan rambut hitam tergerai panjang. Indah memang cantik, dan hatinya jauh lebih cantik. Indah dibesarkan dengan kasih sayang, dengan kepercayaan, dan dengan teladan yang baik dari kedua orangtuanya.

Bu Mila dan Pak Faisal memang membesarkan Indah dengan penuh kasih sayang namun tidak berlebihan. Sejak kecil Indah dididik untuk memegang teguh komitmen yang dibuat. Janji adalah janji, sebisa mungkin harus ditepati.

Segala sesuatu yang dimulai dengan kebohongan akan berakhir dengan kebohongan. Sesuatu yang dimulai dengan kecurangan akan berakhir dengan kegagalan. Sesuatu yang dimulai dengan kesombongan akan berakhir dengan kehancuran. Sebaliknya sesuatu yang dimulai dengan niat baik dan ketulusan akan berakhir dengan kebahagiaan.

Hari ini Indah ulang tahun, Bu Mila dan Pak Faisal memang tidak pernah merayakan ulang tahun Indah dengan pesta yang mewah. Cukup syukuran kecil-kecilan di rumah. Namun tidak seperti biasanya, kali ini Indah minta hadiah. “Umi, beliin Indah kaus kaki renda ya... punya temen Indah baguuuss deh... ada coraknya...”, ujar indah dengan penuh harap, begitu halus intonasinya sebenarnya Bu Mila tak sanggup menolak, tapi apapun yang terjadi, komitmen harus dipertahankan..

“Boleh, nanti Indah ikut Umi ke Swalayan ya, kita beli disana aja. tapi Indah mesti janji, nggak boleh minta apa-apa lagi.” ujar bu Mila penuh kasih. “Makasi ya Umi, Indah janji nggak akan minta apa-apa lagi, kaus kaki itu sudah cukup buat Indah.”.

Sesuai janji, sore itu Bu Mila mengajak Indah ke Swalayan dekat rumah. Nggak perlu waktu lama bagi indah untuk menemukan kaus kakinya. Tapi ceritanya jadi lain saat Indah melihat kalung mutiara plastik di etalase kios asesoris kecantikan.

Kalung itu sungguh menarik, warnanya putih mengkilap seperti kalung mutiara sungguhan. Indah bingung, Ia terlanjur janji tidak akan minta apa-apa lagi. tapi kalung itu begitu menarik baginya. Indah tidak sanggup menahan hasrat untuk memiliki kalung itu.

Lidahnya kelu, ia malu, tapi desakan itu kian kuat. akhirnya dengan terbata-bata, Indah berkata “Umi maafin Indah ya.. Indah nggak jadi beli kaus kaki renda, Indah mau kalung itu. tapi kalo nggak boleh, nggak apa-apa Indah nggak maksa, maafin Indah ya Umi, tapi indah mau kalungnya..” ujar Indah.

Sebenarnya Bu Mila bisa saja membelikan keduanya sekaligus, namun Indah tetap harus memegang komitmen yang dibuat. “Indah boleh beli kalungnya, tapi kaus kakinya nggak jadi ya? Karena harganya lebih mahal, Umi akan potong sisanya dari tabungan Indah minggu ini. Gimana, Indah setuju?” . “Setuju Umi, nggak apa-apa deh nggak pake kaus kaki renda juga yang penting pake kalung mutiara, hehe... makasi ya Umi... Umi baik deh...”

Akhirnya Bu Mila membelinya dan Indah segera memakainya. Indah semakin terlihat cantik, wajahnya merona ceria sekali. Kalung itu jadi mainan kesayangan Indah, tiap hari selalu dipakainya.

Indah sering cerita pada Bu Mila dan Pak Faisal, betapa sayangnya Ia pada kalung mutiaranya. Tidak terasa sebulan telah berlalu, dan Indah semakin tidak bisa berpisah dengan kalung mutiaranya. Kemanapun Indah pergi, kalung itu selalu menempel di lehernya, membuat Indah semakin tampak cantik dan menggemaskan.

Malam itu seperti biasa, Pak Faisal membacakan dongeng sebelum Indah tidur. menjelang akhir kisahnya, Pak Faisal mengajukan sebuah pertanyaan pada Indah. “Indah..., Indah sayang sama Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah sayaaang sama ayah, sama Umi juga... kenapa...?” .

“Kalo Indah sayang sama Ayah..., Kalungnya buat Ayah ya...?” . “Ya… Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh ambil boneka kancil punya Indah, atau si Twingky... atau si Tweety... tapi jangan kalung ini yah...” ujar Indah memelas. “Ya udah... nggak apa-apa... Ayah ngerti kok” , ujar Pak Faisal bijak.

Esok malamnya, di akhir ceritanya, Pak Faisal kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada Indah. “Indah..., Indah sayang sama Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah sayaaang sama ayah, sama umi juga… emang kenapa…?”. “Kalo Indah sayang sama Ayah..., Kalungnya buat Ayah ya..?”. “Ya... Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh ambil boneka beruang punya Indah, atau si bantal kingkong kesayangan Indah, tapi jangan kalung ini... Indah sayaaang banget sama kalung ini... ” ujar Indah memelas sambil matanya barkaca-kaca.

“Ya udah... nggak apa-apa.. Ayah ngerti kok... Indah tidurnya yang lelap ya, tapi jangan kesiangan, bangunnya pagi pagi ya sayang...”ujar Pak Faisal, mencoba mencairkan suasana.

Esok malamnya ketika Pa Faisal masuk kamar Indah, Pa Faisal melihat Indah menangis, tangisan polos anak kecil yang cantik. Siapapun yang mendengarnya, pasti terenyuh hatinya karena Indah memang jarang nangis.

Pak Faisal mendekat dan mengusap lembut rambut Indah yang tergerai panjang. Indah berbalik, hingga Pak Faisal dapat melihat raut muka Indah yang sedang menangis. Air matanya menetesi pipi-pipinya yang halus, matanya berkaca-kaca, tangannya yang mungil menggenggam erat kalung mutiaranya.

Dengan terbata-bata Indah berkata, “Ayah.. Indah sayaaanng banget sama Ayah.. sama Umi juga.. Indah juga sayang sama kalung ini.. tapi Indah lebih sayang sama ayah dan Umi… jadi… kalung ini buat ayah aja..” ujar Indah disela-sela isak tangisnya.

Melihat keikhlasan dan ketulusan Indah, Pak Faisal terenyuh hatinya. Sambil tersenyum, ia berkata “Indah… Ayah sama Umi juga sayaang sama Indah, makasih Indah mau ngasih kalungnya ke Ayah. Boleh Ayah ambil kalungnya sekarang..?”.

Dengan senyum yang tulus, Indah mengulurkan tangannya.. sambil tersenyum, Indah berkata “Boleh.. Indah ikhlas kok.. lagian kalung ini nggak ada apa-apanya dibandingkan kasih sayang ayah sama umi..” ujar Indah dengan tulus.

Dengan perlahan sambil menatap mata Indah, Pak Faisal mengambil kalung itu dari tangan Indah dan memasukkan kalung itu ke saku celana panjangnya. Kemudian… Pak Faisal merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dan memberikannya pada Indah.

“Makasih Indah, Bapak bangga sama Indah.. sebenarnya bapak mau ngasih hadiah ini sebulan yang lalu.. tapi sepertinya sekaranglah saat yang tepat.. dibuka ya hadiahnya..” Ujar Pak Faisal, setengah berbisik.

Dengan cekatan, tangan mungil Indah segera bergerak membuka kotak kecil itu, muka Indah tiba-tiba merona, berwarna merah muda, indaaahh sekali..

ternyata kotak kecil itu berisi…………………… “kalung mutiara yang asli!”.

Sahabat, sedikit renungan yang dapat kita petik dari cerita di atas, terkadang kita terlalu terikat dengan apa yang telah kita capai dan kita inginkan. Entah itu berupa kekayaan, kedudukan, pangkat, jabatan, pasangan, atau apapun. Kita selalu merasa berat untuk kehilangan benda atau orang yang sangat kita sayangi.

Seperti Indah yang demikian sayangnya pada kalung mutiara imitasi-nya. Namun tahukah sahabat, seperti Pak Faisal, sesungguhnya seperti itulah Allah membimbing kita.

Terkadang Allah mencabut kedudukan kita, mengambil kekayaan kita, mengambil orang yang sangat kita sayangi, melalui kuasanya. Sebenarnya Allah sedang menunggu.. Apakah kita akan melepaskan segala kepalsuan yang melekat pada diri kita atau tidak.

Sekali kita melepaskan kepalsuan yang melekat, saat itu juga, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang asli, yang lebih bersinar, dan abadi.

Sahabat, mudah2an kita dapat mengambil sedikit pelajaran dari kisah kalung mutiara tersebut. Beberapa waktu yang lalu, saya dapat sms dari seorang sahabat di Malang.

Sebuah puisi tentang kaktus dan kupu-kupu.. tolong disimak ya.. Ketika aku meminta setangkai bunga yang indah, Allah memberiku kaktus berduri. Ketika aku meminta binatang mungil nan cantik, Allah memberiku ulat berbulu. Ketika Aku meminta kebijaksanaan, Allah memberiku setumpuk masalah untuk diselesaikan. Aku sedih, protes, dan kecewa.. betapa tidak adilnya ini. Namun kemudian.. Kaktus itu berbunga, indaaah sekali, berwarna-warni. Ulat itu pun berubah menjadi kupu-kupu yang cantik, Dan ternyata, setumpuk masalah itupun dapat diselesaikan.

Itulah jalan Allah, ‘INDAH PADA WAKTUNYA”, “Allah tak memberi apa yang kita harapkan, tapi Allah memberi apa yang kita perlukan. Kadang kita sedih, marah dan kecewa. Tapi jauh diatas segalanya, Allah sedang merencanakan yang terindah buat kita”.

“Perjalanan hidup itu ibarat sebuah hari, Dini hari adalah masa dimana lembar baru tercipta, Pagi hari adalah masa kanak-kanak dimana mimpi digantungkan. Siang hari adalah masa dewasa dimana mimpi dikejar dan diraih.

Senja hari adalah masa tua dimana mimpi dinikmati, sedangkan malam adalah masa untuk mengakhirinya dengan istirahat panjang.. Sahabat, semoga hidup ini sebaik perjalanan hari-harimu”.

"JODOH... Antara TAKDIR dan PILIHAN"


 Pernahkah kita bertanya jodoh itu sebenarnya takdir atau pilihan??

Jika jodoh itu takdir, kenapa Rasulullah menyuruh kita memilih? Kenapa para orang-orang alim selalu menasehatkan agar kita berhati-hati dalam memilih calon pendamping agar tidak salah pilih? Namun jika jodoh itu pilihan, kenapa kita tidak dapat bersatudengan orang yang kita pilih jika takdir tidak menggariskan??
Serumit itukah masalah jodoh jika terus di pertanyakan??

Dalam islam , jodoh diartikan sebagai seseorang yang namanya sudah tertulis di Lauh Mahfuz jauh sebelum kita di ciptakan yang akan di takdirkan menjadi pendamping hidup kita. Tapi ada juga yang bilang bahwa jodoh itu bisa berubah seiring perubahan yang terjadi pada akhlak kita. Seperti halnya rejeki yang sudah di tuliskan di Lauh Mahfuz sana, jodoh juga harus di usahakan dengan ikhtiar dan do'a ,di cari dengan jalan halal. Karena seperti halnya rejeki yang harus kita cari dengan pekerjaan halal agar rejeki yang kita dapat itu membawa keberkahan untuk hidup kita, begitu pula jodoh.. Jika ingin beruntung dan bahagia.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitupun kita sebagai wanita, ketika kita hendak memenerima tau memilih calon suami. Kita pun harus melihat agamanya ( ketaqwaannya) , agar dia bisa membimbing kita dan menjadi imam yang baik . Lalu bagaimana dengan mereka yang bercerai? Katanya itu berarti mereka sudah tidak berjodoh.

Dari sini aku mulai berfikir, otakku berputar mencari jawaban, agar aku tidak terjebak dalam kebingungan.

Kita tetap di wajibkan "MEMILIH" karena Rasulullah menyuruh kita memilih kalau kita mau bahagia dan beruntung. dengan kriteria utama yang baik agamanya tentunya. Masalah dia berjodoh atau tidak dengan kita biarkan takdir yang memainkan peranannya. Tugas kita hanya berdo'a memohon yang terbaik dan berusaha melakukan yang terbaik sesuai pesan Rasulullah.

Rasulullah telah memberi petunjuk dan nasihat memilih pasangan hidup kepada kita. Jika setelah tahu kita tetap memilih yang berlawanan karena mengedepankan nafsu dan ego saja. Itu berarti kita telah memilih sendiri jalan hidup kita yang berlawanan dengan apa yang sudah Rasulullah anjurkan. Jadi jangan salahkan takdir, jangan salahkan Allah jika kamu terjebak ke dalam jalan kerugian. Karena kamu sendiri yang memilih.

Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut Allah berkata.. "Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi.. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti"

Di dunia Allah masih menyayangi semua hamba-Nya. baik itu yang bertaqwa maupun yang durhaka... Semua mempunyai hak yang sama. Tapi di akhirat? Jangan harap... Allah hanya akan mencintai hamba-Nya yang bertaqwa di dunia bukan yang selalu mendurhakai-Nya.
Jangan selalu menyalahkan takdir ,apalagi menyalahkan Allah. Karena pada dasarnya kita punya bagian besar dalam menentukan jalan hidup kita. Bukankah kita sendiri yang memilih menjadi orang baik atau menjadi orang jahat? menjadi orang Jujur atau pendusta? menjadi oarng bertaqwa atau durhaka?
Jadi sekarang mau pilih mana?
Pilihan Rasulullah? atau Pilihan nafsu kita?
Beruntung atau merugi?
Ta'aruf atau pacaran?

Menyerah pada nasib atau berusaha memperbaiki nasib?
Menyerah pada cinta atau menyerahkan cinta pada-Nya?

Jangan selalu menjadi manusia yang pandai menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi dalam hidup kita , apalagi sampai menyalahkan Allah. Kita semua di anugerahi akal untuk berfikir, untuk menimbang apa saja kemashlahatan dan kemudharatan yang akan kita tanggung ketika kita hendak memilih atau melangakah.

So.. Awali dengan cara Islam, jalani dengan aturan Islam .. Semoga kita mendapat akhir yang tentram. So.. Jodoh Di Tangan ALLAH. Tapi pilihan ada ditangan kita. Kita sebagai hamba hanya bisa mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya agar bisa mencapai puncak keberuntungan. Ikhtiar dan do'a janganlah lupa .. dan tetap menjadikan pesan Rasulullah sebagai kriteria utama memilih dan menerima calon pendamping kita. Karena kehidupan tidak akan berakhir hanya di dunia. Ada kehidupan setelah ini yang lebih abadi, dan apa yang kita kerjakan di dunia inilah iyang menjdi penentu kebahagiaan kita di akhirat kelak.

Oh Istriku, Apa Saja Sih yang Kau Kerjakan ?


Suatu hari seorang suami pulang kerja dan mendapati tiga orang anaknya sedang berada di depan rumah. Semuanya bermain lumpur, dan masih memakai pakaian tidur. Berarti semenjak bangun tidur, mereka belum mandi dan belum berganti pakaian

Sang suami melangkah menuju rumah lebih jauh. Ternyata ... kotak-kotak bekas bungkus makanan tersebar di mana-mana.
Kertas-kertas bungkus dan plastik bertebaran tidak karuan, dan… pintu rumah bagian depan dalam keadaan terbuka.

Begitu ia melewati pintu dan memasuki rumah… masyaAllah… kacau… berantakan. Ada lampu yang pecah, ada sajjadah yang tertempel dengan permen karet di dinding. Televisi dalam keadaan on dan dengan volume maksimal. Boneka bertebaran di mana-mana. Pakaian acak-acakan tidak karuan menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

Dapur? Ooooh tempat cucian piring penuh dengan piring kotor. Sisa makanan pagi masih ada di atas meja makan. Pintu kulkas terbuka lebar.

Sang suami mencoba melihat lantai atas. Ia langkahi boneka-boneka yang berserakan itu. Ia injak-injak pula pakaian yang berserakan tersebut. Maksudnya adalah hendak mendapatkan istrinya, siapa tahu ada masalah serius dengannya.

Pertama sekali ia dikejutkan oleh air yang meluber dari kamar mandi, semua handuk berada di atas lantai dan basah kuyup. Sabun telah berubah menjadi buih. Tisu kamar mandi sudah tidak karuan rupa, bentuk dan tempatnya. Cermin penuh dengan coretan-coretan odol, dan... begitu ia melompat ke kamar tidur, ia dapati istrinya sedang tiduran sambil membaca komik!!!

Melihat kepanikan sang suami, sang istri memandang kepadanya dengan tersenyum. Dengan penuh keheranan sang suami bertanya, “Apa yang terjadi hari ini wahai istriku?!!”.

Sekali lagi sang istri tersenyum seraya berkata,“Bukankah setiap kali pulang kerja engkau bertanya dengan penuh ketidak puasan, ‘Apa sih yang kamu kerjakan hari ini wahai istriku?’, bukankah begitu wahai suamiku tersayang?!”

“Betul” jawab sang suami.

“Baik” kata sang istri, “Hari ini, aku tidak melakukan apa yang biasanya aku lakukan, semoga dengan begitu engkau tahu apa yang selama ini aku kerjakan”.

*****

Message yang ingin disampaikan adalah:

  1. Penting sekali semua orang memahami, betapa orang lain mati-matian dalam menyelesaikan pekerjaannya, dan betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang lain itu agar kehidupan ini tetap berimbang, berimbang antara MENGAMBIL dan MEMBERI, TAKE and GIVE.
  2. Dan … agar tidak ada yang mengira bahwa dialah satu-satunya orang yang habis-habisan dalam berkorban, menanggung derita, menghadapi kesulitan dan masalah serta menyelesaikannya.
  3. Dan … jangan dikira bahwa orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang tampaknya santai, diam, dan enak-enakan … jangan dikira bahwa mereka tidak mempunyai andil apa-apa.
  4. Oleh karena itu, HARGAILAH JERIH PAYAH DAN KIPRAH ORANG LAIN dan JANGAN MELIHAT DARI SUDUT PANDANG YANG SEMPIT.

Sendal Jepit Istriku


Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan
, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.

"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.

*******
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…

*******
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*) ku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.

Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

Keterangan
(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad
(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup secukupnya walau mampu lebih dari itu
(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa malu

KISAH NYATA PERJUANGAN SI BOCAH CACAT


Ujian yang mahaberat, jika disikapi dengan pikiran terbuka dan jiwa yang lapang, bisa mengobarkan semangat perjuangan yang tak gampang padam. Dan, semangat itulah yang dikobarkan seorang bocah bernama Qian Hongyan.

Kita memang kadang perlu belajar dari seorang bocah. Jika kita ingat kembali, semangat sebagai anak-anak sangat kuat untuk menerjang semua halangan dan tantangan. Satu contoh nyata adalah saat kita belajar berjalan. Meski jatuh berkali-kali, sebagai seorang bocah kita tentunya terus berusaha hingga benar-benar bisa berjalan seperti saat ini.

Dan, semangat ala bocah inilah yang-barangkali-mampu menjadi "bara api" yang terus menyala di tengah gelap dan kerasnya ujian bagi sesosok anak berusia belasan dari negeri China, Qian Hongyan. Ujian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa tidak, di usianya yang masih sangat dini-tiga tahun (tepatnya pada bulan Oktober 2000)-ia mengalami kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga batas pinggang harus diamputasi.

Kondisi itu diperparah lagi dengan keadaan ekonomi orangtua Qian yang tidak berkecukupan. Karena itu, keluarga gadis cilik yang tinggal di Zhuangxia, China itu tak mampu memberikan kaki palsu untuk Qian. Sebagai gantinya, keluarga tersebut menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket. Sebuah solusi yang jauh dari kata nyaman, seperti kaki-kaki palsu lainnya.

Namun, meski tumbuh dengan keterbatasan, Qian membuktikan bahwa dunia belumlah tamat bagi dirinya. Ia tumbuh menjadi gadis yang periang dan murah senyum-seolah-olah tak terjadi suatu apa pun dalam dirinya. Dengan memantulkan bola basket di bagian bawah tubuhnya, dan dibantu penyangga untuk membantunya bergerak, Qian tetap bisa menjadi bocah lincah layaknya kebanyakan anak normal.

Bersiap Mendunia ...

Dengan kekurangan di tubuhnya, Qian pantang berputus asa, meski ia belum tahu bagaimana masa depannya kelak serta bagaimana ia bisa mengubah hidupnya dengan kondisinya saat itu. Hingga, suatu ketika ia mendatangi sebuah pertandingan olahraga nasional yang diselenggarakan di Kunming pada bulan Mei 2007. Di sana, benih yang menumbuhkan cita-citanya bertumbuh.

Saat itu, Qian setiap hari menyaksikan perjuangan beberapa atlet cacat yang ikut menyemarakkan pertandingan. Melihat perjuangan rekan senasib yang bertubuh cacat, hati Qian pun tergerak. Jika orang lain mampu berprestasi di bidang olahraga meski dengan tubuh cacat, mengapa dia tidak melakukan hal yang sama? Pikiran itulah meletupkan cita-cita Qian Hongyan untukikut menjadi seorang atlet.

Maka, selepas acara olahraga nasional tersebut, tekad Qian segera diwujudkan dengan bergabung di sebuah klub renang khusus. Tekad itu didukung sepenuhnya oleh orangtua Qian. Maka, mereka pun mendatangi Zhang Honghu, seorang pelatih yang terkenal banyak menjadikan perenang cacat sebagai juara di kejuaraan renang. Qian meminta kesempatan kepada Zhang untuk dilatih menjadi seorang seorang juara.

Zhang yang dikenal sebagai pelatih bertangan dingin hanya mengatakan bahwa semua tergantung pada kemauan dan tekad Qian. Sebab, menurutnya, dengan kekurangan separuh tubuh yang tak dimilikinya, agak sulit bagi Qian untuk berenang dengan hanya mengandalkan kedua lengannya. Tetapi, tekad sangat kuat Qian rupanya berhasil memikat Zhang. Maka, ia pun memberikan porsi latihan khusus bagi Qian agar lebih mampu menyeimbangkan kedua bahu dan lengannya.

Kepercayaan Zhang pun dijawab dengan kesungguhan Qian. Dengan porsi latihan cukup berat, apalagi dengan kesulitan yang dialami sejak awal latihan, Qian tak pernah sekali pun mengeluh.

Baginya, impian untuk menjadi atlet adalah cita-cita yang tak boleh padam. Dalam sehari, setidaknya jarak 2000 meter ditempuh Qian di arena air untuk melatih otot-ototnya. Selain itu, latihan lain seperti sit-up, mengangkat beban, hingga berbagai jenis latihan dilakukannya dengan bersemangat.

Semangat inilah yang membuat Qian kini dikenal di seantero China dan bahkan dunia. Kisah hidup dan tekad kuatnya telah menginspirasi banyak orang agar mampu mendobrak segala keterbatasan. Kisah Qian banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online sehingga mengangkat namanya.

Kini, ia ingin mendunia dengan usahanya mewakili China pada tahun 2012 pada kejuaraan renang di olimpiade khusus orang cacat.

Tak tanggung-tanggung, Qian mematok target menjadi juara dunia renang pada kejuaraan olimpiade tersebut. Dia bekerja keras untuk mewujudkan impiannya tersebut. Jika melihat kesungguhan dan tekadnya, sepertinya impian itu tak mustahil untuk dicapai. Sebab, sejatinya kesungguhan dan tekad kuat yang dilandasi kerja keras akan mampu menaklukkan segala tantangan.

Orang-orang dengan keterbatasan fisik semacam Qian biasanya tidak mendapat tempat di masyarakat luas. Mereka lebih sering dianggap beban daripada potensi yang terpendam. Itu sebabnya kebanyakan kaum difable (cacat) cenderung tersisih. Tetapi justru Tuhan menghadirkan mereka dalam kehidupan kita untuk mencelikkan ‘kebutaan’ kita akan kebesaran-Nya dalam memakai siapapun juga.

Sesungguhnya, kita berhutang kepada mereka yang tak mau menyerah kepada nasib, kepada keadaan dan kepada apa yang disebut oleh banyak orang sebagai takdir.

Tak ada cacat yang bisa memadamkan semangat hidup yang tetap berkobar bagi manusia yang tak pernah menyerah.: .. EVERYONE IS NUMBER ONE.

Ya, setiap orang adalah nomor satu! Tidak ada yang nomor dua! Semangat takkan pernah padam oleh keadaan selama kita masih belum menyerah!!

Bila yang cacat saja bisa berjuang dan mengalahkan kelemahannya untuk menjadi yang terbaik dan nomor satu, Jika Qian saja mampu, bagaimana dengan kita? mengapa kita yang masih sempurna justru menyerah pada keadaan?

OFFICE BOY (OB), SO WHAT??


 Sekitar tahun 60an, ketika remaja, dengan penuh impian dan harapan, Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.

Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit.

Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.

Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.

Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.

Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.

Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen, yang kemudian dikenal dengan mesin photo copy. Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya.

Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.

Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun.

“bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu.

“iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab.

“Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras.

Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan.

Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.

Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Tapi Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.

19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.

Setelah menjadi VP dia masih sering berinteraksi dengan rekan-rekannya yang masih menjadi OB. Hingga suatu saat temannya protes kepadanya, “Houtman kamu payah, kamu gak konsisten, kita nih konsisten-konsisten jadi OB” mereka tertawa bersama.

Sampai sekarang belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman Zaenal Arifin, lahir 26 juli 1950, masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.

Iapun masih memulung. Memulung? Ya, sejak 20-an tahun lalu, setiap jelang tengah malam beliau berkeliling Jakarta mendatangi hotel-hotel untuk mengumpulkan roti-roti sisa (yang oleh pihak hotel roti tersebut tak boleh lagi dihidangkan esok hari) lalu membawanya ke penampungan-penampungan dan yayasan-yayasan anak yatim yang tersebar di berbagai wilayah.

Minggu, 02 Desember 2012

Bukan Sopir Biasa


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Sopir mobil barang di UD (usaha dagang) milik bapak baru ganti sebulan ini. Bapak memang sengaja memberitahu orang rumah bila ada orang baru di “UD’-nya.
Bukan apa-apa, sebab barang dagangan kadang transit di rumah dulu untuk dicek sebelum dibawa ke gudang. Aku, kakak atau ibu bergantian mengecek barang bila tak sibuk.

Dulu

pernah kejadian ada orang mengaku sopir baru, pada akhirnya melarikan mobil bapak. Sejak itu, bapak mewajibkan orang rumah tahu semua karyawan bapak.

Waktu berjalan, genap sebulan sopir baru bapak bekerja. Masih muda, santun tak banyak bicara. Hampir setiap saat bapak memujinya.Yang baiklah, yang pinterlah yang serba bisalah, heran aku dibuatnya. Pada anak-anak sendiri, nyaris bapak tak pernah memuji. Benarkah pujian itu? Diam-diam kuamati sopir muda itu.
Datang lebih cepat atau lepas Zhuhur itu jadwal kerjanya. Kata bapak, hal itu sudah diizinkannya. Tiap masuk gerbang, tak pernah lupa mengucap salam. Bila tak ada bapak, ia sama sekali tak mau masuk rumah, memilih menunggu di depan pintu meski sudah ibu persilakan.

Bila bicara dengan ibu ia lebih hanyak menunduk, sedikit senyum tapi nada bicaranya tetap terdengar ramah dan santun. O… pantas saja bapak suka padanya.

Yang lebih mengherankan, sekarang kalau keluar kota untuk urusan pribadi sekalipun, bapak sering mengajaknya. Padahal selama ini, bapak biasa nyopir sendiri. Bila bapak tak sempat mengantar ibu belanja, bapak pun mempercayakan hal itu padanya.

Ada lagi yang berubah pada bapak, kaset keroncong dan langgam jawa sudah tak lagi terdengar di rumah atau di tape mobil. Gantinya?! Kaset muratal dan ceramah-ceramah agama. Entah kenapa aku tak pernah tapi bertanya meski aku penasaran. Nonton TV paling saat berita, padahal bapak penggemar sinetron. Nama artis-artis pun bapak hafal….

Sore itu, aku pulang dari kantor tempatku bekerja. Tak ada yang aneh dengan bapak dan ibu, karena seperti biasa mereka berdua selalu duduk di beranda menunggu aku dan kakakku pulang. Tapi kulihat senyum mereka tak seperti biasanya. Benar saja, usai makan malam, bapak membuka pembicaraan yang tak pernah kuduga sebelumnya.

’’Berapa usia kamu sekarang?’ Ah, bapak pakai tanya umurku.

“Hampir 26 tahun. Kenapa Pak?”

“Belum ingin menikah? Keburujadi perawan tua lho nanti…”

Makanan jadi sulit kutelan. Sejak kapan bapak ingin anaknya cepat-cepat kawin? Buktinya 2 kakak perempuanku menikah saat usia mereka kepala 3. Malah masih kuingat kata bapak, usia kepala 3 baru matang dan siap menikah. Kok sekarang berubah?!
Jujur aku dan kakak-kakakku tumbuh dalam pendidikan sekuler dan menikah di usia berapa pun tak pernah jadi soal. Karir di mata keluarga kami begitu penting. Tapi, sekarang bapak tiba-tiba bicara pernikahan juga agama.

Dan satu hal yang baru kusadari sekarang, tentang ibuku… Ibuku adalah wanita modern tulen. Salon, berdandan dan segala trendsetter fashion tak pernah ketinggalan diikutinya. Sekarang? Mana kutek di kukunya? Mana kuku panjangnya? Mana make up-nya? Tak terlihat sama sekali. Tapi diam-diam kupuji dalam hati, wajah ibu terlihat lebih ‘ringan’ dan segar tanpa make up.

“Kau mau nanti bapak carikan. Atau barang kali kamu sudah punya calon sendiri?”

Makanan makin terasa sulit kutelan. Pacar? Aku memang pernah naksir beberapa pria, tapi tak pernah sampai pacaran.

“Siapa calon Fa, Pak?” Mas Dodi tiba-tiba menyela.

“Sopir bapak…” ucap bapak tanpa dosa. Mas Dodi tertawa. Aku terperanjat berdiri, setengah melotot, tak percaya.


“Tuh… Pak, apa aku bilang. Bapak ngga’ percaya sih. Belum-belum Fa aja sudah melotot, gimana mau nerima?!” Ternyata mas Dodi sudah tahu rencana bapak.

Kutinggalkan meja makan dengan rasa hancur dan terhina. Masa’ bapak tega menikahkanku dengan sopir? Apa kata dunia?! Calon S2 kok cuma dapat sopir…?! Aku menangis di kamar, membayangkan semua mimpi buruk itu.

Ibu dan bapak menyusul ke kamar. Menjelaskan semuanya juga soal siapa “mimpi burukku” itu. Aku jadi malu juga setengah tak percaya pada cerita bapak. Aku diberi ke sempatan untuk berpikir sepekan. Hanya sepekan. Kata bapak untuk kebaikan semua dan sebelum kesempatan itu hilang. “Shalat Istikharah, Fa. Biar kamu yakin!” pesan ibu.

Tak sampai sepekan, tepatnya 3 hari sebelum batas waktu, aku memberi jawaban “ya” pada bapak, tanpa keraguan sedikit pun. Bapak memelukku, ibu pun menangis. Kulirik mas Dodi mukanya memerah.
Sopir bapak memang bukan sopir biasa. Ia lulusan sarjana teknik dan tengah menyelesaikan gelar pasca sarjananya, kala itu atas beasiswa. Kerja sebagai sopir di tempat bapak untuk menutup biaya hidup selama kuliah, juga untuk biaya keluarganya. Ia memang yatim. Praktis sebagai satu-satunya lelaki di rumah, ia menggantikan fungsi kepala rumah tangga. Hal itu baru kutahu saat hendak menikah.

Sepekan kemudian, aku menikah dengan sopir bapak. Dua pekan usai menikah, aku diboyong suami terbang ke negeri Sakura. Suami menjalani kontrak kerja di sana. Kini kami sudah dikarunia tiga buah hati.
Dua lahir di negeri seberang, seorang di Indonesia. Beberapa bulan lagi kontrak suami akan habis, bila tak diperpanjang dan tak ada aral melintang, insya Allah kami akan kembali ke tanah air.

Sabtu, 01 Desember 2012

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.
Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana.
Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh.

Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya.

Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”.
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir.

“Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”.

” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.

Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”.

Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa.

” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.

” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”. Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya.

Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. ”

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya.
Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.

” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan.

Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual.

Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.

Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir.

Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”.

” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. ”

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia.

Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi.

Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat.
Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.

Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”.
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku.

Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia.

Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap.

Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbiï ..ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi.
Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku.

Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu.

Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta.

Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati.
Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.

Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihanaï…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”.

”Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhoinya” .

Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. ”

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada.

Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.